Jumat, 18 Mei 2018

sistem upacara kematian suku Baduy

ningratwulansari
19 MEI 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
            Baduy adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan posisi geografis dan administrasifnya berada disekitar Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy bukanlah merupakan suku terasing, tetapi suatu suku yang sengaja mengasingkan dirinya dari kehidupan luar. Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tetap bernuansa demokratis. Seiring dengan perjalan sejarahnya, mereka adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak mengenal budaya tulisan. Segala yang berhubungan dengan peraturan hukum adat, kisah-kisah nenek moyang dan kepercayaan mereka diturunkan dan diwasiatkan kepada anak cucu mereka secara lisan.
            Suku Baduy terbagi menjadi 2 kelompok , yaitu Kelompok Tangtu (Baduy Dalam) dan Kelompok Masyarakat Panamping (Baduy Luar). Kebudayaan yang ada di Baduy sendiri sangat beragam dan itu sangat menarik perhatian orang-orang untuk mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan Baduy. Terutama pada laporan ini kami akan lebih menjelaskan mengenai Sistem Upacara Kematian Dalam Masyarakat Baduy.
B.        Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Sejarah  Baduy?
B.     Bagaimana Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy?

C.        Tujuan Penulisan
A.    Untuk mengetahui Sejarah Baduy
B.     Untuk mengetahui Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy
D.        Manfaat Penulisan
            Laporan ini dibuat untuk memberikan pengetahuan dan untuk menambah wawasan  pembaca mengenai Sejarah, Kebudayan, dan Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy.


BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sejarah Baduy
            Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yan ada dibagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka sendiri seperti Urang Cibeo (Encep Supriatna, 2018).
            Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah pasundan yakni dari Banten, Bogor, Priangan sampai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi rajanya dalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke Selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak memasuki Agama Islam. Akhirnya Raja beserta Senopati dan Para Ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu Sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun Upacara Suku Baduy “Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguh nu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa ngawatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang dituju, berjalan tanpa ada tujuan, berjalan di tepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina daripada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan”
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Dalam), dengan ciri-ciri : berbaju putih hasil jahitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai diatas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
            Versi lain menurut cerita yang menjadi senopatidi Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umum setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi si Banten Prabu Pucuk Umum bersama para ponggawa dan prajuritnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai, maka tempat ini mereka sebut Lembur singkur Mandala. Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnyatempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat dikeramatkan.
            Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik (Baduy Dalam) dengan khas sama dengan di kampung Cikeusik yaitu : wataknya keras, acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).
            Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku pengawinan adalah dari pencampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, Priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakan mereka itu terdiri dari orang-orang yang melanggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umum dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog Kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampung Sobang dan kampung Citujah Kecamatan Muncang,, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan ciri khas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping (Baduy Luar) desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak dengan ciri-cirinya: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh berpergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
            Suku Baduy Berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda. Sebutan bagi suku baduy terdiri dari :
1.      Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuun) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2.      Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang berdomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikat oleh Hukum adat dibawah pimpinan puun (kepala adat).
3.      Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan perilakunya telah mulai mengikuti ajaran agama Islam dan perilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.




B.        Hasil Penelitian
Penelitian tentang sistem upacara kematian dilakukan pada hari Minggu, 22 April 2018 yang bertempat di Alun-alun kota Serang-Banten. Dimana pada hari itu bertepatan dengan adanya kegiatan peringatan Seba Baduy. Tradisi Seba Baduy merupakan ritual adat dengan dengan membawa pesan luhur dan keikhlasan untuk disampaikan. Sebab perjuangan warga baduy khususnya baduy dalam akan berjalan sekitar 115 kilometer tanpa alas kaki dan membawa hasil bumi dari Desa Kanekes, Kecamatan Luwidamar, Kabupaten Lebak menuju Pendopo Gubernur Banten.
Untuk mendapatkan data dari orang baduy kami menggunakan teknik wawancara dimana kami mewawancarai beberapa orang warga baduy mengenai sistem upacara kematian yang ada di baduy dengan menggunakan bahasa Sunda , tapi ternyata ada warga baduy yang sudah bisa berbahasa Indonesia sehingga itu memudahkan kami dalam berkomunikasinya. Namun, ada beberapa hambatan saat kami mewawancarai dimana ada yang jawaban nya tidak nyambung , serta banyak pertanyaan dari kami yang tidak jawab. Berikut teks wawancara yang kami berikan pada narasumber:

Narasumber 1
Nama               : Nadip
Alamat            : Cikeusik (Baduy Dalam)
Umur               : 60 Tahun

Teks Wawancara
Peneliti           : “ Punten pak, ngawagel waktosna sakedap aya nu bade  ditaroskeun?”
(Permisi pak, maaf mengganggu waktunya sebentar. Ada hal yang    mau ditanyakan boleh?)
Narasumber     : “ Nya sok wae” (Iya sok aja)
Peneliti            : “ Bapak , namina saha?” (Bapak namanya siapa)
Narasumber     : “ Nadip”
Peneliti            :” Alamat bapak timana, sareng umur bapak sabaraha?”
                          (Alamat Bapak darimana, dan umurnya berapa?)
Narasumber     :” Ti Cikeusik Baduy dalam , 60 tahun”
                          (Dari Cikeusik Baduy Dalam, 60 tahun)
Peneliti            : “ Ai nguruskeun nu maot di Baduy Kumaha pak?”
                            (Kalo orang yang meninggal disana bagaimana Pak?)
Narasumber     :” Sarua bae, dikuburkeun” (Sama aja dikiburkan)
Peneliti            :” Aya ritual atau upacara khusus na teu pak? Terus aya perbedaan teu       sareng baduy luar?”
Narasumber     :” Eweh, kitu bae sarua dikubur, di bungkus ku kain kapan . dikuburkeun na di tempat khusus nu loba tatangkalan na, ngan salametan ti tilu poe nepikeun 7 poe”
                         ( Tidak ada, sama aja di kubur, di tutupi pake kain kapan. Di kuburnya di tempat khusus yang banyak pohon-pohon nya. Ada selametan dari hari ke 3 sampai hari ke tujuh)
Peneliti            :” Oh, jadi teu aya ritual khusus. Ti baduy dalam sabaraha jalmi nu ngiring kadieu?”
                        (Oh, tidak ada ritual khusus. Dari baduy dalam ada berapa orang yang ikut kesini?)
Narasumber     :” Nya. Ngan 45 jelema, mun baduy luar mah lobaan”
Peneliti            :” Oh, Muhun. Hatur nuhun waktosnya.
Narasumber     :” Heeh”


Narasumber 2
Nama               : Sadik
Alamat            : Cisaku (Baduy Luar)
Umur               : 27 Tahun

Teks Wawancara
Peneliti            :” Punten Kang ngawagel waktosna , bade naros sistem upacara       kematian orang baduy kumaha? Ai akang namina saha ? timana?”
(Maaf kang mengganggu waktunya, mau bertanya sistem upacara kematian orang baduy bagaimana?. Sebelumnya namanya siapa dari mana kang? )
Narasumber     :” Nya kitu we sarua, teangan we na FB aya Sadik Baduy engke ge  muncul. Ti Cisaku Baduy Luar”
                        (Ya sama aja, cari aja di Facebook nanti ada Sadik Baduy muncul. Dari Cisaku Baduy Luar)
Peneliti            :” Oh, akang tiasa bahasa Indonesia? Ai yuswa sabaraha taun?”
                        (Oh, akang bisa bahasa Indonesia? Kalo umurnta berapa tahun?)
Narasumber     :” Tiasa, 27 tahun”
Peneliti            :” Pake bahasa Indonsia saja ya kang biar tidak belepotan, ada ritual atau upacara khusus tidak kalo ada orang yang meninggal dibaduy? Dan ada perbedaan tidak dengan baduy dalam”
Narasumber     :” Tidak ada, sama saja. Dikubur . Paling selametan dari 3 hari sampai tujuh hari. Kan kalau biasanya orang sampai seratus hari kalo di baduy tidak. Selametan nya pake makanan”
Peneliti            :” Oh gitu ya kang, hatur nuhun buat waktunya”
Narasumber     :” Sama-sama”

            Dari hasil penelitian yang telah kami peroleh melalui wawancara dan beberapa sumber mengenai sistem upacara kematian yang ada pada masyarakat baduy , baik baduy dalam ataupun baduy luar adalah sebagai berikut:
            Kematian dalam kosakata Baduy dikenal istilah kaparupuhan (kehilangan) untuk peristiwa kematian dan ngahiyang (mendiang). Jika terjadi kematian, masyarakat Kanekes tidaklah timbul suasana hiruk-pikuk tangisan anggota keluarganya sebgai tanda duka. Suasananya tenang dan tertib sambil diiringi dengan kegiatan pengurusan jenazah. Pengurusan jenazah orang Kanekes dilakukan oleh orang khusus yang jabatannya panghulu. Ia dipandang dapat membersihkan yang mati dari dosa-dosa yang melekat pada tubuhnya.
            Pertama-tama jenazah itu dimandikan dengan air bersih, kemudian dibungkus dengan kain kafan, selanjutnya dikuburkan. Keberangkatan jenazah ke kuburan dipimpin oleh jaro tangtu dan diiringi ceurik panglayungan (tangisan jenazah) yang dilakukan salah seorang anggota keluarga yang meninggal.
            Lahan kubur pada masyarakat Kanekes terletak disebelah selatan perkampungan mereka. Penguburan mayat pada masyarakat Kanekes berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan tersebut yakni bahwa masyarakat luas khususnya yang telah menganut Agama Islam, kepala dari mayat tersebut berada disebelah utara dan wajah dari mayat tersebut di hadapkan ke arah makkah atau arah kiblat. Namun pada masyarakat Kanekes, letak dari posisi mayat yang akan dikuburkan adalah kepala dihadapkan ke arah barat (mengikuti arah matahari terbit), kaki diarahkan ke arah Timur (mengikuti arah matahari terbenam) dan wajahnya di arahkan ke arah Utara. Setelah mayat tersebut dikuburkan maka masyarakat Kanekes pun menutupnya dengan meratakan kembali tanah tersebut seperti awal tanah tersebut di gali, tidak ada gundukan, papan nama, atau pohon yang di tanam untuk menandakan bahwa itu adalah kuburan. Apabila keluarga akan berziarah, maka cukuplah mendoakannya hanya dari rumah mereka. Masyarakat Kanekes melakukan hal tersebut bukan tanpa dasar, masyarakat Kanekes melakukan pola penguburan tersebut karena mereka berpegang teguh pada apa yang nenek moyang mereka ajarkan yakni:
“ Neda
Agungna Parahun, neda panjangna hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak loronganna, di potong pondok teu meunang disambung, nu enya kudu dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun”
Artinya :”Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung, yang benar dilakukan, yang tidak benar jangan dilakukan”
            Setelah dikubur, keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan 7 hari dari waktu meninggal dengan membuka pintu rumah lebar-lebar dan membiarkan warga lain yang berkunjung untuk makan bersama.
            Pada intinya masyarakat Kanekes sangat menghormati apa yang Tuhan telah berikan kepada mereka, mereka tidak punya hak untuk merusak apa yang Tuhan mereka ciptakan, mereka sangat menghormati semesta alam jadi dengan mereka menggali tanahpun sebenarnya mereka telah melukai alam, maka apa yang telah ada di alam ini harus tetap sama seperti itu. Jadi ketika penguburan tersebut mereka tambahkan dengan gundukan atau patokan seperti batu atau pohon berarti mereka telah merubah apa yang telah ada.

BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
            Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda diwilayah Kabupaten Lebak, Bante. Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (no maden)
            Baduy merupakan suatu daerah yang banyak menarik perhatian orang untuk mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan yang ada di Baduy sendiri. Terutama pada sistem upacara kematiannya dari proses penguburan jenazah yang ada di baduy memilik perbedaan dengan masyarakat pada umumnya. Dalam upacara kematian, suku baduy memasukan jenazah nya kedalam tanah, namun tidak membuat punggungan tanah diatasnya. Setelah dikubur, keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan 7 hari dari waktu meninggal.

B.        Saran
            Memang sangat sulit bagi masyarakat luar baduy yang ingin merubah kebudayaan yang ada dibaduy agar menjadi lebih modern. Karena kita ketahui masyrakat baduy sangat mempertahankan kebudayaan nya yang masih tradisional mereka sangat menutup diri dari yang namanya perubahan. Walaupun kita tahu bahwa kepercayaan mereka yang masih Animisme dan Dinamisme sangat bertentangan dengan aturan Agama Islam, kami sangat menginginkan pemerintah dapat merangkul masyarakat baduy untuk bisa terbuka terhadap perubahan khususnya baduy luar terlebih dahulu yang sekarang sudah mula membuka diri terhadap perubahan. Karena semakin kesini masyarakat baduy luar sedikit demi sedikit sudah mengenal yang namanya Handphone dan banyak dari warga baduy luar yang jago berbahasa Indonesia . Bahkan anak-ank muda nya sudah mengenal yang namanya Facebook hal itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melaukan perubahan kebudayaan pada masyarakat baduy seedikit demi sedikit.


1 komentar:

  1. tolomg di revisi mengenai kepercayaan orang kanekes adalah animisme ataua dinamisme yang sangat bertentangan dengan syariat islam. pelajari lebih dalam lagi mengenai ajaran asli masyarakat sunda. ajaran jati sunda itu menganut monoisme. tuhan yang tunggal (sang hyang) atay yang ghaib. kenapa masy sunda bisa menerima islam? karena konsep nya sama dengan agama leluhur masy sunda. hanya ada 1 tuhan yang esa. yang membedakan antara masy sunda yang beragama islam saat ini tidak menjalankan adat atau kebudayaan leluhur dimana masy sunda menjalankan prinsip hidup ketuhanan, kemanusiaan dan kesimbangan alam. (sama kan sama islam?) umat islam sunda sekarang mengutamakan kebudayaan bangsa arab ketinbang kearifan lokal leluhurnya. agama dijadikan budaya. padahal agama adalah keyakinan pribadi sementara budaya adalah kebiasaan yg di turunkan secara turun termurun menjadi adat kebiasaan.

    BalasHapus