19 MEI 2018
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Baduy adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan posisi geografis dan administrasifnya
berada disekitar Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy bukanlah merupakan suku terasing,
tetapi suatu suku yang sengaja mengasingkan dirinya dari kehidupan luar.
Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya sangat
kuat, ketat, serta tegas, tetapi tetap bernuansa demokratis. Seiring dengan
perjalan sejarahnya, mereka adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan
sehari-harinya tidak mengenal budaya tulisan. Segala yang berhubungan dengan
peraturan hukum adat, kisah-kisah nenek moyang dan kepercayaan mereka
diturunkan dan diwasiatkan kepada anak cucu mereka secara lisan.
Suku
Baduy terbagi menjadi 2 kelompok , yaitu Kelompok Tangtu (Baduy Dalam) dan
Kelompok Masyarakat Panamping (Baduy Luar). Kebudayaan yang ada di Baduy
sendiri sangat beragam dan itu sangat menarik perhatian orang-orang untuk
mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan Baduy. Terutama pada laporan ini kami
akan lebih menjelaskan mengenai Sistem Upacara Kematian Dalam Masyarakat Baduy.
B. Rumusan Masalah
A.
Bagaimana
Sejarah Baduy?
B.
Bagaimana
Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy?
C. Tujuan Penulisan
A.
Untuk
mengetahui Sejarah Baduy
B.
Untuk
mengetahui Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy
D. Manfaat Penulisan
Laporan ini dibuat untuk memberikan pengetahuan dan untuk
menambah wawasan pembaca mengenai Sejarah,
Kebudayan, dan Sistem Upacara Kematian yang ada di Baduy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Baduy
Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yan ada dibagian utara dari
wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes”
sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama
kampung mereka sendiri seperti Urang
Cibeo (Encep Supriatna, 2018).
Konon pada sekitar abad ke XI dan
XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah pasundan yakni dari Banten,
Bogor, Priangan sampai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi rajanya
dalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada
sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh
saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah
Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke Selatan
daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan
rakyatnya banyak memasuki Agama Islam. Akhirnya Raja beserta Senopati dan Para
Ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaan masuk hutan belantara kearah
selatan dan mengikuti Hulu Sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan
tekad seperti yang diucapkan pada pantun Upacara Suku Baduy “Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu
puguh nu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh
lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan
atawa jeung baraya nu masih keneh sa ngawatua” Artinya : “jauh tidak
menentu yang dituju, berjalan tanpa ada tujuan, berjalan di tepi tebing,
berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina daripada harus berperang
dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan”
Keturunan
ini yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Dalam), dengan
ciri-ciri : berbaju putih hasil jahitan tangan (baju sangsang), ikat kepala
putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai diatas lutut, dan sifat
penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat,
tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi lain menurut cerita yang
menjadi senopatidi Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang
bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umum setelah Cirebon dan sekitarnya
dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama
Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di
wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi si Banten Prabu Pucuk Umum
bersama para ponggawa dan prajuritnya meninggalkan tahta di Banten memasuki
hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai, maka
tempat ini mereka sebut Lembur singkur Mandala. Singkah yang maksudnya tempat
yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnyatempat ini disebut GOA/
Panembahan Arca Domas yang sangat dikeramatkan.
Keturunan ini yang kemudian menetap
di kampung Cikeusik (Baduy Dalam) dengan khas sama dengan di kampung Cikeusik
yaitu : wataknya keras, acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya),
kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya
pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket
kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).
Ada juga yang mengatakan bahwa yang
dimaksud suku pengawinan adalah dari pencampuran suku-suku yang pada waktu itu
ada yang berasal dari daerah Sumedang, Priangan, Bogor, Cirebon juga dari
Banten. Jadi kebanyakan mereka itu terdiri dari orang-orang yang melanggar adat
sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umum dibuang ke suatu daerah
tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama islam sehingga
kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan
belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog Kecamatan Maja, ada yang terus
menetap di kampung Sobang dan kampung Citujah Kecamatan Muncang,, maka
ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan ciri khas tersendiri.
Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai
Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai,
dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping
(Baduy Luar) desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak dengan
ciri-cirinya: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh
berpergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh
tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat
karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Suku Baduy Berasal dari daerah di
wilayah Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka
suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan
serta sifatnyapun sangat berbeda. Sebutan bagi suku baduy terdiri dari :
1.
Suku
Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuun)
yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2.
Suku
Baduy Panamping artinya suku Baduy yang berdomisili di luar Tangtu yang
menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikat oleh Hukum adat
dibawah pimpinan puun (kepala adat).
3.
Suku
Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran
agama Islam dan perilakunya telah mulai mengikuti ajaran agama Islam dan
perilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti
Hukum adat.
B. Hasil
Penelitian
Penelitian tentang sistem upacara kematian dilakukan pada
hari Minggu, 22 April 2018 yang bertempat di Alun-alun kota Serang-Banten.
Dimana pada hari itu bertepatan dengan adanya kegiatan peringatan Seba Baduy.
Tradisi Seba Baduy merupakan ritual adat dengan dengan membawa pesan luhur dan
keikhlasan untuk disampaikan. Sebab perjuangan warga baduy khususnya baduy
dalam akan berjalan sekitar 115 kilometer tanpa alas kaki dan membawa hasil
bumi dari Desa Kanekes, Kecamatan Luwidamar, Kabupaten Lebak menuju Pendopo
Gubernur Banten.
Untuk mendapatkan data dari orang baduy kami menggunakan
teknik wawancara dimana kami mewawancarai beberapa orang warga baduy mengenai
sistem upacara kematian yang ada di baduy dengan menggunakan bahasa Sunda ,
tapi ternyata ada warga baduy yang sudah bisa berbahasa Indonesia sehingga itu
memudahkan kami dalam berkomunikasinya. Namun, ada beberapa hambatan saat kami
mewawancarai dimana ada yang jawaban nya tidak nyambung , serta banyak
pertanyaan dari kami yang tidak jawab. Berikut teks wawancara yang kami berikan
pada narasumber:
Narasumber
1
Nama :
Nadip
Alamat : Cikeusik (Baduy Dalam)
Umur : 60 Tahun
Teks
Wawancara
Peneliti : “ Punten pak, ngawagel waktosna sakedap
aya nu bade ditaroskeun?”
(Permisi
pak, maaf mengganggu waktunya sebentar. Ada hal yang mau ditanyakan boleh?)
Narasumber : “ Nya sok wae” (Iya sok aja)
Peneliti : “ Bapak , namina saha?” (Bapak
namanya siapa)
Narasumber : “ Nadip”
Peneliti :” Alamat bapak timana, sareng umur
bapak sabaraha?”
(Alamat Bapak darimana, dan umurnya berapa?)
Narasumber :” Ti Cikeusik Baduy dalam , 60 tahun”
(Dari Cikeusik Baduy Dalam, 60 tahun)
Peneliti : “ Ai nguruskeun nu maot di Baduy
Kumaha pak?”
(Kalo orang yang meninggal disana bagaimana
Pak?)
Narasumber :” Sarua bae, dikuburkeun” (Sama aja
dikiburkan)
Peneliti :”
Aya ritual atau upacara khusus na teu pak? Terus aya perbedaan teu sareng baduy luar?”
Narasumber :”
Eweh, kitu bae sarua dikubur, di bungkus ku kain kapan . dikuburkeun na di
tempat khusus nu loba tatangkalan na, ngan salametan ti tilu poe nepikeun 7
poe”
( Tidak ada, sama aja di kubur, di tutupi pake
kain kapan. Di kuburnya di tempat khusus yang banyak pohon-pohon nya. Ada
selametan dari hari ke 3 sampai hari ke tujuh)
Peneliti :”
Oh, jadi teu aya ritual khusus. Ti baduy dalam sabaraha jalmi nu ngiring kadieu?”
(Oh,
tidak ada ritual khusus. Dari baduy dalam ada berapa orang yang ikut kesini?)
Narasumber :”
Nya. Ngan 45 jelema, mun baduy luar mah lobaan”
Peneliti :”
Oh, Muhun. Hatur nuhun waktosnya.
Narasumber :”
Heeh”
Narasumber
2
Nama : Sadik
Alamat : Cisaku (Baduy Luar)
Umur : 27 Tahun
Teks
Wawancara
Peneliti :”
Punten Kang ngawagel waktosna , bade naros sistem upacara kematian orang baduy kumaha? Ai akang
namina saha ? timana?”
(Maaf
kang mengganggu waktunya, mau bertanya sistem upacara kematian orang baduy
bagaimana?. Sebelumnya namanya siapa dari mana kang? )
Narasumber :”
Nya kitu we sarua, teangan we na FB aya Sadik Baduy engke ge muncul. Ti Cisaku Baduy Luar”
(Ya
sama aja, cari aja di Facebook nanti ada Sadik Baduy muncul. Dari Cisaku Baduy
Luar)
Peneliti :”
Oh, akang tiasa bahasa Indonesia? Ai yuswa sabaraha taun?”
(Oh,
akang bisa bahasa Indonesia? Kalo umurnta berapa tahun?)
Narasumber :”
Tiasa, 27 tahun”
Peneliti :”
Pake bahasa Indonsia saja ya kang biar tidak belepotan, ada ritual atau upacara
khusus tidak kalo ada orang yang meninggal dibaduy? Dan ada perbedaan tidak
dengan baduy dalam”
Narasumber :”
Tidak ada, sama saja. Dikubur . Paling selametan dari 3 hari sampai tujuh hari.
Kan kalau biasanya orang sampai seratus hari kalo di baduy tidak. Selametan nya
pake makanan”
Peneliti :” Oh gitu ya kang, hatur nuhun buat
waktunya”
Narasumber :” Sama-sama”
Dari hasil penelitian yang telah
kami peroleh melalui wawancara dan beberapa sumber mengenai sistem upacara
kematian yang ada pada masyarakat baduy , baik baduy dalam ataupun baduy luar
adalah sebagai berikut:
Kematian dalam kosakata Baduy
dikenal istilah kaparupuhan (kehilangan) untuk peristiwa kematian dan ngahiyang
(mendiang). Jika terjadi kematian, masyarakat Kanekes tidaklah timbul suasana
hiruk-pikuk tangisan anggota keluarganya sebgai tanda duka. Suasananya tenang
dan tertib sambil diiringi dengan kegiatan pengurusan jenazah. Pengurusan
jenazah orang Kanekes dilakukan oleh orang khusus yang jabatannya panghulu. Ia
dipandang dapat membersihkan yang mati dari dosa-dosa yang melekat pada
tubuhnya.
Pertama-tama jenazah itu dimandikan
dengan air bersih, kemudian dibungkus dengan kain kafan, selanjutnya
dikuburkan. Keberangkatan jenazah ke kuburan dipimpin oleh jaro tangtu dan
diiringi ceurik panglayungan (tangisan jenazah) yang dilakukan salah seorang
anggota keluarga yang meninggal.
Lahan kubur pada masyarakat Kanekes
terletak disebelah selatan perkampungan mereka. Penguburan mayat pada
masyarakat Kanekes berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan tersebut yakni
bahwa masyarakat luas khususnya yang telah menganut Agama Islam, kepala dari
mayat tersebut berada disebelah utara dan wajah dari mayat tersebut di hadapkan
ke arah makkah atau arah kiblat. Namun pada masyarakat Kanekes, letak dari
posisi mayat yang akan dikuburkan adalah kepala dihadapkan ke arah barat
(mengikuti arah matahari terbit), kaki diarahkan ke arah Timur (mengikuti arah
matahari terbenam) dan wajahnya di arahkan ke arah Utara. Setelah mayat
tersebut dikuburkan maka masyarakat Kanekes pun menutupnya dengan meratakan
kembali tanah tersebut seperti awal tanah tersebut di gali, tidak ada gundukan,
papan nama, atau pohon yang di tanam untuk menandakan bahwa itu adalah kuburan.
Apabila keluarga akan berziarah, maka cukuplah mendoakannya hanya dari rumah
mereka. Masyarakat Kanekes melakukan hal tersebut bukan tanpa dasar, masyarakat
Kanekes melakukan pola penguburan tersebut karena mereka berpegang teguh pada
apa yang nenek moyang mereka ajarkan yakni:
“
Neda
Agungna
Parahun, neda panjangna hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak loronganna,
di potong pondok teu meunang disambung, nu enya kudu dienyakeun, nu henteu kudu
dihenteukeun”
Artinya
:”Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung, yang benar dilakukan, yang
tidak benar jangan dilakukan”
Setelah dikubur, keluarga yang
ditinggalkan mengadakan selamatan 7 hari dari waktu meninggal dengan membuka
pintu rumah lebar-lebar dan membiarkan warga lain yang berkunjung untuk makan
bersama.
Pada intinya masyarakat Kanekes
sangat menghormati apa yang Tuhan telah berikan kepada mereka, mereka tidak
punya hak untuk merusak apa yang Tuhan mereka ciptakan, mereka sangat
menghormati semesta alam jadi dengan mereka menggali tanahpun sebenarnya mereka
telah melukai alam, maka apa yang telah ada di alam ini harus tetap sama
seperti itu. Jadi ketika penguburan tersebut mereka tambahkan dengan gundukan
atau patokan seperti batu atau pohon berarti mereka telah merubah apa yang
telah ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok
masyarakat adat sunda diwilayah Kabupaten Lebak, Bante. Sebutan Baduy merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka
dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(no maden)
Baduy merupakan suatu daerah yang
banyak menarik perhatian orang untuk mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan
yang ada di Baduy sendiri. Terutama pada sistem upacara kematiannya dari proses
penguburan jenazah yang ada di baduy memilik perbedaan dengan masyarakat pada
umumnya. Dalam upacara kematian, suku baduy memasukan jenazah nya kedalam
tanah, namun tidak membuat punggungan tanah diatasnya. Setelah dikubur,
keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan 7 hari dari waktu meninggal.
B. Saran
Memang sangat sulit bagi masyarakat luar baduy yang ingin
merubah kebudayaan yang ada dibaduy agar menjadi lebih modern. Karena kita
ketahui masyrakat baduy sangat mempertahankan kebudayaan nya yang masih
tradisional mereka sangat menutup diri dari yang namanya perubahan. Walaupun
kita tahu bahwa kepercayaan mereka yang masih Animisme dan Dinamisme sangat
bertentangan dengan aturan Agama Islam, kami sangat menginginkan pemerintah
dapat merangkul masyarakat baduy untuk bisa terbuka terhadap perubahan
khususnya baduy luar terlebih dahulu yang sekarang sudah mula membuka diri
terhadap perubahan. Karena semakin kesini masyarakat baduy luar sedikit demi
sedikit sudah mengenal yang namanya Handphone dan banyak dari warga baduy luar
yang jago berbahasa Indonesia . Bahkan anak-ank muda nya sudah mengenal yang
namanya Facebook hal itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melaukan
perubahan kebudayaan pada masyarakat baduy seedikit demi sedikit.
tolomg di revisi mengenai kepercayaan orang kanekes adalah animisme ataua dinamisme yang sangat bertentangan dengan syariat islam. pelajari lebih dalam lagi mengenai ajaran asli masyarakat sunda. ajaran jati sunda itu menganut monoisme. tuhan yang tunggal (sang hyang) atay yang ghaib. kenapa masy sunda bisa menerima islam? karena konsep nya sama dengan agama leluhur masy sunda. hanya ada 1 tuhan yang esa. yang membedakan antara masy sunda yang beragama islam saat ini tidak menjalankan adat atau kebudayaan leluhur dimana masy sunda menjalankan prinsip hidup ketuhanan, kemanusiaan dan kesimbangan alam. (sama kan sama islam?) umat islam sunda sekarang mengutamakan kebudayaan bangsa arab ketinbang kearifan lokal leluhurnya. agama dijadikan budaya. padahal agama adalah keyakinan pribadi sementara budaya adalah kebiasaan yg di turunkan secara turun termurun menjadi adat kebiasaan.
BalasHapus